Sabtu, 06 Juni 2009

Aku Ada Bagi Tuhan

Saudara-saudaraku yang terkasih,

Dalam hidup ini hanya ada satu pilihan diantara dua kemungkinan atau opsi. Pilihan pertama adalah hidup yang berdasarkan “Aku ada karena Tuhan dan bagi Tuhan.” Pilihan kedua adalah hidup yang berdasarkan “ Aku ada karena aku ada dan bagi diriku sendiri.” Setiap kita harus memilih satu diantara kedua opsi tersebut; manusia tidak dapat memilih keduanya dan tidak dapat menunda untuk memilih salah satunya. Jika kita menunda untuk memilih salah satunya, itu sama saja kita memilih opsi yang kedua, “Aku ada karena aku ada dan bagi diriku sendiri.” Pilihan seperti ini juga merupakan kelompok terbesar yang terdapat di dalam gereja. Kelompok ini tidak ada ketegasan apakah kita hidup diantara dasar opsi yang pertama dan yang kedua, padahal kita harus memilih salah satu dan sesegera mungkin memutuskannya. Walaupun dalam praktiknya untuk mengenakan landasan hidup yang benar (Aku ada karena Tuhan dan bagi Tuhan) tidaklah mudah.

Tuhan Yesus berkata dalam Luk. 16:13, “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua
tuan…” Memang jarang atau hampir tidak ada orang yang beragama dan mengaku percaya
Tuhan secara langsung menyembah Iblis dan berbakti kepada setan. Tetapi sebenarnya ketika
seseorang melandaskan hidupnya pada filosofi “Aku ada karena aku ada dan bagi diriku
sendiri,” ia telah menjadikan dirinya budak kuasa kegelapan. Dan banyak orang tidak sadar jika
ia sudah menjual dirinya pada kuasa kegelapan. Padahal jika kita mengikut Yesus, itu berarti
kita dipasung, dibelenggu dan diatur oleh firman-Nya. Lain halnya jika kita tidak mengikut Yesus dengan baik, maka kita boleh berbuat suka-sukanya sendiri. Dan pada saat kita hidup suka-suka sendiri, pada saat itulah kita menjual hidup kita pada kuasa kegelapan.

Pelayanan pekerjaan Tuhan harusnya merupakan pelayanan, pembinaan, dan pelatihan yang
bertujuan untuk mengubah setiap manusia yang hidup untuk dirinya menjadi hidup untuk
Tuhan. Saat ini banyak gereja yang menganggap bahwa adalah wajar bila jemaat memiliki
gaya hidup seperti orang-orang dunia pada umumnya. Sesungguhnya gaya hidup seperti itu
adalah gaya hidup yang bergantung pada materi, kemewahan, dan kenikmatan dunia. Orang-
orang yang memiliki gaya hidup dunia memiliki keyakinan bahwa hidup mereka adalah milik
mereka sendiri dan bukan milik Tuhan. Mereka beranggapan bahwa mereka berharga karena
mereka merasa memang patut dihargai, mereka terhormat karena mereka merasa patut
dihormati dan mereka harus diterima karena mereka merasa patut diterima oleh siapapun
juga.Padahal sesungguhnya apa yang telah mereka peroleh di dunia ini berasal dari Bapa di
sorga.

Memang tidaklah mudah untuk menyerahkan diri kita kembali kepada Tuhan setelah sekian
lama kita menjual diri kepada kuasa gelap. Untuk itu kita harus rendah hati supaya kita dapat
menyadari keberadaan diri kita yang sesungguhnya, lalu bertobat dan berusaha untuk berubah
ke arah yang lebih baik, sehingga filosofi hidup kita yang tadinya “ Aku ada karena aku ada dan
bagi diriku sendiri’ berubah menjadi “Aku ada karena Tuhan dan bagi Tuhan”.

Solagracia

Jumat, 05 Juni 2009

Tetap di dalam Firman

Shalom, Saudaraku sekalian yang kekasih.
Dalam satu percakapan, Saudaraku sekalian, Tuhan Yesus mengatakan kepada banyak orang yang percaya kepada-Nya. Orang ini dinyatakan oleh Alkitab “percaya”… percaya kepada Tuhan Yesus. Tuhan berkata, “Jikalau kamu tetap dalam Firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku, dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yoh. 8:31-32)

Dari pernyataan ini menunjukkan bahwa orang yang bisa dikategorikan atau dibilangkan “percaya” ternyata belum menjadi murid. Dan, kalau belum menjadi murid, mereka tidak mengetahui kebenaran… jadi kalau mereka tidak mengetahui kebenaran, berarti mereka masih terbelenggu—hidup dalam belenggu: belenggu dosa, belenggu egoisme, belenggu… belenggu kejahatan yang lain.

Jadi kita sebagai orang yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus tidak boleh merasa puas diri dengan apa yang kita miliki. Tuhan Yesus sendiri berkata, “Kalau kamu tetap dalam Firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku.” Jadi banyak orang yang sekarang ini mengaku percaya, jadi orang Kristen, tapi belum tetap dalam Firman. Mereka belum benar-benar menjadi murid. Kalaupun mengaku murid, itu murid-muridan, murid bohong-bohongan, murid pura-pura; belum murid sungguhan. Bukan murid sungguhan!

Nah, ini menjadi perhatian bagi semua kita, mau tidak mau. Jangan merasa puas bahwa Saudara sudah jadi Kristen. Kalau Kristen yang tidak menjadi murid, itu Kristen yang tidak dikenal! Toh akhirnya tidak masuk Surga, buat apa? Yang akhirnya dibuang dalam api kekal, mau apa, Saudaraku?

Ini yang Tuhan kehendaki: tetap dalam Firman. “Kamu benar-benar adalah murid-Ku, dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Apa sekarang maksudnya “tetap dalam Firman”? Saudara, bukan rahasia lagi ya, semua orang juga pasti mengaminkan apa yang saya katakan: banyak orang Kristen, memahami—atau menanggapi—pengenalan akan Tuhan sebagai hal yang tidak penting atau kurang penting. Pengenalan akan Tuhan dianggap sebagai pelengkap hidup. Padahal Saudaraku, ini lho yang penting dalam hidup kekristenan, yaitu ketika seseorang menjadikan pengenalan akan Tuhan sebagai primadona kehidupan. Hidup untuk mengenal Tuhan. Hidup untuk mengenal Tuhan. Hidup untuk mengenal Tuhan!

Nah, orang seperti ini, pasti dia belajar Firman Tuhan. Baca Alkitab, baca buku-buku rohani yang bermutu, mendengar khotbah yang benar, terus merenungkan Firman itu siang dan malam. “Apakah itu bisa, Pak?” Kenapa tidak bisa?

Kalau seseorang mengingini sesuatu, atau menghasrati memiliki sesuatu;
katakanlah, ingin punya sepeda motor; siang malam yang dia pikir, sepeda motor.
Kalau orang merindukan/menginginkan sebuah mobil; siang malam dia dengar, dia selalu mengingat mobil. Mendengar suara knalpot mobil, yah… langsung ingat, kapan saya punya mobil. Siang malam yang dipikirkan mobil! Melihat majalah pun majalah mengenai mobil, dan seterusnya.

Kenapa kita tidak bisa siang malam memikirkan Firman Tuhan? Mestinya bisa, Saudara. Mestinya bisa! Tergantung dari kita, apakah kita memiliki kesungguhan atau keseriusan dengan Tuhan Yesus.

Kalau kita menganggap mengenal Tuhan itu sebagai sambilan, tambahan, bukan sesuatu yang urgen, yang penting dalam hidup ini, jelas… jelas kita akan abaikan hal itu. Kita akan memburu yang lain, mengutamakan yang lain, memprioritaskan yang lain.

Tapi kalau seorang merasa bahwa Tuhan itu paling penting, mahapenting; mengenal kebenaran itu segalanya; kita akan memburu pengenalan akan Tuhan ini dengan sungguh-sungguh. Kita akan investasikan waktu, tenaga, uang, apa pun yang kita miliki untuk mengenal Tuhan.

Inilah yang namanya tetap dalam Firman. Belajar mengenal Firman dan belajar melakukan, mengamalkan, Saudaraku sekalian. Inilah yang namanya tetap dalam Firman. Jangan hanya jadi Kristen dua jam di gereja; jam yang lain, kafir. Ya? Saya tidak menghakimi Saudara secara pribadi; kenyataannya memang ada yang begitu, Saudaraku. Di gereja dua jam; keluar dari gereja, tidak ada bekas-bekasnya sebagai orang Kristen. Tapi Kristen yang benar adalah sungguh-sungguh belajar Firman, mengerti Firman, dan berusaha melakukannya.

Jika demikian, Saudaraku sekalian, kebenaran… jika demikian, seseorang akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan dia. Nah, sering kali dengan mudah, ya, kita mendoakan orang, “Dalam nama Yesus, saya putuskan tali-tali yang mengikat hidupmu.” Ya kita bukan membantah atau menolak pelayanan pelepasan; kita juga percaya adanya kuasa dari Tuhan Yesus untuk melepaskan belenggu atau ikatan-ikatan. Tetapi Saudaraku sekalian, doa-doa seperti itu tidak, tidak menyelesaikan secara fundamental. Tidak akan menuntaskan, Saudaraku, cukup kita berkata “Dalam nama Yesus”, ya, “Roh serakah keluar! Roh kemarahan keluar! Roh perzinahan keluar! Roh ketakutan keluar!” Waduh, apa setelah didoakan lalu dia menjadi berani, menjadi tidak kuatir, dan jadi orang Kristen yang baik, yang tidak membunuh, tidak menjahati orang, tidak berzina? Belum tentu! Tetapi kebenaran yang dia pahami itulah yang akan mencegah dia berbuat dosa. Membuat dia muak terhadap dosa. Jangankan melakukan, Saudaraku sekalian. Mendengarnya saja, rasanya tidak suka.

Nah, di sinilah kehidupan orang Kristen betul-betul bertumbuh. Tetap dalam Firman itu berarti siang malam teruuus merenungkan Firman itu; jadi ini benar-benar murid, Saudaraku sekalian. Dia akan mengenal kebenaran; dia akan tahu bagaimana kehendak Tuhan itu—apa kehendak Tuhan, apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna. Apa itu. Dia akan mengerti kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan dia.

Saudara, pengertian seorang akan kebenaran Firman itulah yang menentukan kemerdekaan seseorang. Kalau hari ini kita masih dibelenggu dengan materialisme, ya, matrek; dibelenggu dengan pikiran jahat, dendam, kebencian terhadap orang lain; dibelenggu dengan perzinahan, pikiran kotor; dibelenggu dengan ambisi-ambisi; bagaimana melepaskan semua itu? Cukupkah didoakan dalam nama Yesus Kristus, roh ini-roh itu keluar, lalu kita dinyatakan merdeka? Tidak, tidak sama sekali! Tetapi, dengan belajar Firman Tuhan, dengan mengerti Firman Tuhan, mengalami pembaruan pikiran setiap hari, maka dengan sendirinya belenggu-belenggu itu akan digugurkan; belenggu-belenggu itu akan runtuh; rantai-rantai besi akan patah, Saudaraku sekalian. Dan kita dimerdekakan. Dan ini sebenarnya yang sungguh-sungguh Tuhan kehendaki dalam hidup kita. Ini yang Tuhan maui; ini yang Tuhan inginkan, Saudaraku.

Dan saya mengimbau Saudara-saudara sekalian yang sudah jadi Kristen, jangan puas diri dengan apa yang Saudara miliki. Sekalipun Saudara seorang majelis gereja; sekalipun Saudara seorang pendeta, jangan sombong. Jangan bangga diri! Periksa diri kita; pahami diri kita, Saudaraku, jika keadaan kita ternyata tidak sesuai dengan kehendak Tuhan; keadaan kita ternyata masih dibelenggu dengan banyak hal; bahwa ternyata kita belum menjadi murid yang sesungguhnya.

Kesempatan ini terbatas, tetapi Tuhan masih beri kesempatan. Jika Saudara mau jadi murid, mari masuk, jadi murid Tuhan. Jangan hanya mengaku percaya, puas sebagai orang percaya, tetapi… inilah yang Tuhan kehendaki, agar Saudara benar-benar jadi orang yang dimerdekakan. Kemerdekaan ini, Saudaraku sekalian, merupakan gejala atau ciri-ciri dari seorang yang dilayakkan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Itulah sebabnya apakah seseorang hari ini terbelenggu atau tidak, itu nampak dari sikap hidupnya. Ya? Jangan kita ditipu, disesatkan oleh pikiran kita sendiri, kita perkara—… berkata, “Sekarang saya sudah bebas” padahal kita masih banyak belenggu. Mulutnya mengatakan “Saya bebas hari ini” tapi hidupnya masih terbelenggu. Dan kenyataan itulah yang sering kita jumpai dalam kehidupan, dan kita kadang-kadang bingung, kenapa orang begitu yakin keselamatannya, padahal dia belum tentu selamat.

Dengan kebenaran Firman yang saya sampaikan ini, Saudara akan lebih berhati-hati. Saudara akan sungguh-sungguh mulai menjadi orang-orang yang tetap dalam Firman, karena hanya orang yang tetap dalam Firman, dia adalah murid Tuhan. Dan seorang yang menjadi murid Tuhan ini, terus bertumbuh; dia akan menjadi sempurna seperti Bapa di Surga. Sempurna seperti Tuhan Yesus Kristus. Merdeka dari segala belenggu.

Bukan Kejayaan Lahiriah

Dalam dialog terakhir yang terjadi antara Tuhan Yesus dengan murid-murid-Nya sebelum Ia naik ke Surga, para murid menanyakan bilamana Tuhan memulihkan kerajaan bagi Israel (Kis. 1:6–11). Tuhan Yesus tidak menolak kenyataan adanya pemulihan tersebut, tetapi Ia menunjukkan kepada mereka bahwa saatnya akan tiba nanti, sesuai dengan kehendak Bapa.
Yang penting bagi orang percaya adalah meneruskan berita Injil sampai ke ujung bumi.

Dalam bahasa asli Alkitab, pertanyaan para murid tersebut dituliskan: "Kürie, i en to khrono tuto apokathistanis ten basilian to Israel?".Ada dua pokok pikiran yang penting di sini: masa ini "en to khrono" dan memulihkan kerajaan bagi Israel "apokathistanis ten basilian to Israel". Kata “memulihkan” (apokathistanis) berarti memugar atau membangun kembali kerajaan Israel.

Dari kedua pokok pikiran ini terlihat bahwa mereka menginginkan Tuhan membangun kembali
kerajaan Israel pada masa ini—pada masa hidup dunia sekarang ini, bukan nanti. Kerajaan
yang mereka maksudkan bukan kerajaan mana-mana, melainkan kerajaan yang pernah dirintis
oleh Saul kemudian dibawa ke zaman kejayaan dan puncak keemasannya oleh Daud dan Salomo.

Dari pertanyaan ini jelas bahwa murid-murid Yesus masih belum mengerti kebenaran Allah.
Mereka belum mengerti visi dan misi kedatangan Tuhan Yesus ke dalam dunia ini. Seharusnya
mereka sudah mengerti, sebab mereka sudah kuliah selama tiga setengah tahun di bawah
asuhan Sang Dosen Agung. Rupanya murid-murid Yesus ini sama seperti banyak orang
Kristen hari ini, yang sudah begitu lama mengiringi Tuhan tetapi tidak tahu banyak mengenai
kebenaran Allah—bahkan banyak yang berkonsep salah tentang Tuhan. Murid-murid
semacam ini sebentar lagi akan drop out.

Ada beberapa kesalahan dalam pertanyaan para murid tersebut. Kesalahan yang pertama,
pemulihan kerajaan Israel bukanlah pada waktu itu, tetapi pada saat yang akan ditentukan oleh
Bapa. Kesalahan kedua, mereka tidak perlu tahu kapan Tuhan mengadakan pemulihan itu.
Yesus berkata: “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu.” Secara tidak langsung,
Yesus juga ingin menyiratkan bahwa ada yang lebih penting yang harus engkau tahu dan
kerjakan, yaitu menerima kuasa untuk menjadi saksi Tuhan sampai ke ujung bumi. Kesalahan
ketiga, yang dipulihkan Allah bukanlah kerajaan Israel duniawi seperti yang mereka maksudkan
atau fantasikan.
Kesalahan ini sebenarnya sudah terjadi berulang-ulang, antara lain tatkala Petrus melarang Yesus ke Yerusalem (Mat 16:21–23); juga pada waktu mereka tidak mau menerima bahwa daging dan darah Yesus adalah makanan dan minuman (Yoh. 6:48–60).
Mereka berhasrat menjadikan Yesus pahlawan duniawi. Yesus menegur mereka bahwa
mereka mencari Tuhan hanya karena roti dan menjadi kenyang (Yoh. 6:26). Demikian pula
pada waktu anak-anak Zebedeus meminta agar menjadi pejabat disebelah kanan dan kiri
Tuhan sebagai pejabat-Nya (Mrk. 10:35–45). Di berbagai kesempatan orang-orang Yahudi
hendak mengangkat Yesus sebagai Raja (Yoh. 6:15), juga pada waktu Tuhan Yesus masuk
Yerusalem (Yoh. 12:12–13). Mereka mengharapkan Yesus tampil sebagai pemimpin Yahudi
melawan bangsa Romawi.

Kerajaan yang akan dibangun Yesus adalah kerajaan-Nya yang bukan datang dari dunia ini
(Yoh. 18:36). Kenaikan Tuhan Yesus membuktikan dan menunjukkan hal ini. Yang pasti, Ia
datang dan membangun kerajaan-Nya.

Kesalahan yang serupa juga dilakukan oleh banyak orang Kristen saat ini, yang cenderung
selalu ingin menikmati pemulihan atas segala aspek hidupnya sekarang, menurut waktu dan
selera manusia. Kita dapat melihat begitu banyak orang yang berkesalahan seperti murid-
murid ini, yaitu yang mencari Tuhan hanya untuk pemulihan ekonomi, kesehatan, keluarga,
pekerjaan, jodoh, keturunan dan perkara fana lainnya.

Tuhan sanggup dan mau memberikan pemulihan atas hal-hal tersebut karena Ia terlalu
berkenan untuk memulihkan keadaan kita. Kita yakin bahwa semua ini dapat dipulihkan oleh
Allah. Tetapi kalau kita ke gereja hanya mengharapkan pemulihan dari perkara-perkara fana
saja, bisa jadi kita tidak akan memprolehnya. Kalaupun kita memperolehnya lalu tidak mengerti
visi dan misi Tuhan atas hidup kita, kita bisa dipukul Tuhan dan keadaan kita menjadi jauh lebih
parah.

Tuhan menghendaki agar kita memancangkan perhatian kita kepada apa yang menjadi visi
dan misi Tuhan, yaitu kedatangan Kerajaan Surga dengan Yesus sebagai Raja. Kerajaan
tempat keadilan dan kebenaran ditegakkan secara sempurna; Kerajaan yang suci tanpa
kenajisan dan dosa di dalamnya; suatu keadaan yang sangat sempurna.
Oleh sebab itu kita tidak boleh menuntut hidup kita di dunia ini sekarang akan serasa di surga. Kekristenan tidak sama dengan agama-agama lain. Jangan berpikir bahwa kekristenan akan memberi kontribusi atas hidup kita sehingga lebih mudah. Adalah wajar apabila hidup seseorang yang telah disentuh oleh Injil akan terasa lebih sukar, sebab dengan menjadi Kristen kita dituntut untuk hidup sesuai dengan visi dan misi Tuhan.

Esensi Kekristenan

Coba kita membayangkan orang-orang Kristen pada gereja mula-mula abad pertama yang bersekutu tanpa gereja dan dari rumah ke rumah. Ketika mereka harus menghadapi aniaya, mereka harus mengadakan pertemuan di kuburan-kuburan. Tidak ada liturgi, tidak ada organisasi, bahkan tidak ada pendeta. Mereka dengan tekun mempelajari apa yang diajarkan rasul-rasul. Hal ini berlangsung sampai beratus-ratus tahun, namun gereja masih tetap eksis.

Coba saudara bayangkan lagi bahwa sebuah agama (kalau boleh saya pinjam kata agama) yang ditindas begitu hebat dan dipioniri oleh seorang Anak Tukang Kayu yang dituduh sebagai penjahat oleh pihak yang berwajib dan dituduh sebagai penghujat Allah oleh tokoh-tokoh agama, dan mati secara keji disalib, tetapi tetap eksis sampai beratus-ratus tahun. Ini sangat luar biasa. Kalau bukan ada tangan kuat yang menyertai mereka, hal ini sangat mustahil.
Dengan keterbatasan yang mereka miliki tersebut, mereka mempunyai kualitas kekristenan yang begitu dahsyat.

Tapi bagaimana dengan kita sebagai umat Kristen saat ini, masihkah kita memiliki esensi kekristenan yang memiliki kualitas dahsyat tersebut?
Jika tidak pasti ada yang salah pada diri kita. Mengapa bisa begitu? Karena ternyata Tuhan hanya mendapat porsi yang sangat kecil di dalam hidup orang Kristen saat ini. Lihatlah Rasul-rasul yang rela meninggalkan segalanya hanya untuk menemukan panggilan mereka guna mengabdi kepada Tuhan.

Berbeda dengan bangsa Israel dalam Perjanjian Lama yang selalu berpesta merayakan pertolongan-pertolongan Tuhan kepada mereka di masa lalu. Mereka sangat bangga akan keberagamaan yang mereka jalani.
Dalam kekristenan hal itu tidak ada, yang ada hanyalah bagaimana mempersembahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan.

Dalam Lukas 5:38 Tuhan Yesus berkata “Tetapi anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula.” Dengan kata lain ajaran Tuhan Yesus harus di taruh di dalam hati yang baru. Kita harus merasa bodoh tidak tahu apa-apa pada saat mendengar Firman.
Kita tidak boleh sok tahu supaya kita dapat menerimanya secara utuh dan benar. Itulah sebabnya karena merasa sok tahu para ahli Taurat dan orang Farisi tidak dapat menerima pengajaran Tuhan Yesus. Diperlukan kerendahan hati untuk dapat menerima semua apa yang Tuhan Yesus katakan.

Kita harus berani menjadi seperti anak-anak yang selalu merasa bodoh dan belum mengerti firman dengan benar agar dapat menerima segala yang Tuhan ajarkan dalam hidup ini. Mengapa demikian? Karena yang diajarkan Tuhan Yesus itu adalah hal-hal yang luar biasa yang sangat sulit diterima oleh akal pikiran manusia (lihat ayat 39).

Untuk itu diperlukan kerendahan hati dalam menyadari kebodohan dan ketidaktahuan kita akan Firman Tuhan agar supaya kita dapat menerima dengan tulus dan tidak berbantah-bantah segala firman yang telah Tuhan sampaikan. Di samping kerendahan hati, diperlukan juga pembaharuan pikiran dan hati yang telah diubahkan agar dapat menerima manisnya Firman dan melakukannya.

Jadi Jika kita ingin mengenal Tuhan, bersekutu secara harmonis dengan Tuhan dan berjalan bersama Tuhan, maka kita harus berpikir dengan cara berpikir Bapa dan harus hidup dengan gaya hidup surga. Dengan pembaharuan pikiran dan hati yang diubahkanlah, kita dapat memiliki esensi kekristenan seperti jemaat mula-mula dan Rasul-Rasul Kristus.

Selamat berjuang!

Hidup untuk Kepentingan Tuhan..

Saudaraku sekalian yang kekasih,

Percaya kepada Tuhan Yesus bukan berarti kita dapat menggunakan Tuhan untuk kepentingan kita, melainkan kita hidup untuk kepentingan-Nya. Inilah konsekuensi kita menerima Yesus sebagai Tuhan. “Tuhan” itu artinya “Majikan”, “Bos”, yang dalam bahasa Yunani adalah "Kürios". Kalau kita memanggil Yesus sebagai Tuhan, berarti hidup kita disita untuk mengabdi
kepada-Nya. Inilah yang membedakan kita—umat pilihan Tuhan ini—dengan berbagai keyakinan dan banyak kepercayaan di dunia ini.

Jika mereka berurusan dengan ilah, dewa, pohon keramat, batu keramat, judulnya jelas: yaitu supaya mereka memperoleh keuntungan dan dapat memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang dianggap melampaui kekuatan mereka sendiri; kekuatan kuasa-kuasa yang melampaui kekuatan manusia, yang diharapkan dapat menopang kehidupan manusia, yang dapat membantu kehidupan manusia.

Tetapi beda, jika kita berurusan atau berperkara dengan Tuhan, kita bertemu dengan Sang
Pencipta kita. Percaya kepada Tuhan Yesus bukan berarti dapat menggunakan Tuhan untuk
kepentingan kita, tetapi hidup untuk kepentingan-Nya. Ini konsekuensi menerima Yesus
sebagai Tuhan atau sebagai Kürios kita, Saudaraku. Di sini asas manfaat digantikan dengan
asas devosi.

Nah, saya mengerti kalau ada orang Kristen yang baru—baru menjadi Kristen, maksud
saya—berurusan dengan Tuhan karena mau menggunakan atau memanfaatkan Tuhan. Ya,
kita memahami, karena pola agama kafir atau agama lama yang dimilikinya masih melekat di
dalam dirinya, Saudaraku. Begitulah alam pikiran agama-agama di luar lekristenan,
maksudnya keyakinan-keyakinan di luar Kekristenan pada umumnya; barangkali tidak semua.
Jadi ketika mereka menjadi Kristen didorong oleh motif tersebut, yaitu mau memanfaatkan
Tuhan, ya kita harus mengerti; kita harus memahami; kita harus lapang menyambut mereka.

Sebagai pelayan jemaat saya sudah sering bertemu dengan orang-orang seperti ini , yang
sedikit-sedikit
“Pak, doakan ya Pak, supaya saya dapat jodoh;
doakan ya Pak, supaya saya dapat pekerjaan;
Pak, doakan ya Pak, supaya rezeki saya lancar;
Pak, doakan ya Pak, supaya saya naik pangkat;
Pak, doakan ya Pak, supaya gaji saya naik;
Pak, doakan ya Pak, supaya saya sehat-sehat.”
Padahal semuanya itu dapat ditanggulangi sendiri dengan sikap bertanggung jawab.
Tuhan pasti memberkati, meridoi kalau jalan kita benar.

Nah Saudaraku, inilah yang terjadi, Saudaraku sekalian. Apa yang selama ini diajarkan sebagian gereja, salah; jemaat yang sudah puluhan tahun menjadi Kristen diajar untuk dapat memanfaatkan Tuhan, atau menggunakan Tuhan untuk kepentingan mereka. Karena itu dianggap halal, dianggap sah, lalu ramai-ramai mereka datang ke gereja, menyanyi dan menyembah Tuhan. Judulnya adalah: Bagaimana Tuhan bermanfaat untuk mereka, yaitu memuaskan keinginan-keinginan mereka, dan memenuhi apa yang mereka anggap sebagai kebutuhan.

Saya tidak katakan bahwa Tuhan tidak bermanfaat. Tuhan pasti bermanfaat! Dia segalanya
dalam hidup ini. Tetapi jangan menggunakan asas manfaat untuk berurusan dengan Tuhan.
Sudah saatnya gereja mengajar jemaat untuk sungguh-sungguh memiliki satu hati mengasihi
Tuhan. Jika berurusan dengan Tuhan, sungguh-sungguh memberi diri untuk melihat apa yang
menyukakan hati-Nya.

Saya mengerti, Saudaraku, kalau anak-anak kita masih kecil, ya, berurusan dengan orang tua
itu hanya karena mau mendapatkan sesuatu dari orang tua. Minta ini, minta itu; menuntut
orang tua ini, menuntut orang tua itu. Seolah-olah orang tua itu jadi ATM-nya: main pencet saja, lalu semua yang diingini si anak dituruti.

Tetapi kalau anak sudah dewasa, dan anak ini benar- benar bertumbuh dewasa, coba berurusan dengan orang tua. Si anak sudah punya istri, sudah punya anak-anak; lalu seminggu sekali datang ke orang tua, atau seminggu dua kali, atau orang tua disuruh tinggal di rumah si anak. Coba, apa asas yang digunakan, asas yang melandasi hubungan itu? Si anak berusaha memenuhi kebutuhan orang tua; si anak berusaha mengerti apa yang menyenangkan orang tua; si anak tidak lagi menuntut apa-apa dari orang tua; sebaliknya si anak berusaha mengerti apa yang dibutuhkan orang tua dan berusaha menyenangkannya. Bagi si anak, memenuhi kebutuhan orang tua itu bukan kewajiban, tetapi kesenangan, kesukaan. Bagaimana membuat orang tua itu happy bukan kewajiban lagi, melainkan menjadi kesenangan. Kecuali anak yang tidak tahu diri, ya, Saudara, yah, dengan terpaksa memenuhi kebutuhan orang tua; dengan terpaksa memelihara orang tua; dengan terpaksa menyenangkan orang tua. Ya, sebagai anak, senangkan saja mama-papa; mau bagaimana? Sebagai anak nanti dianggap durhaka, tidak tahu diri, tidak tahu balas budi, jadi kualat. Nah sikap begini bodoh. Anak yang begini bodoh. Anak yang baik dan bijaksana adalah yang menyukakan hati orang tua, menyenangkan orang tua, memenuhi kebutuhan orang tua bukan sebagai kewajiban, tetapi kebutuhan.

Demikian pula kalau kita menjadi orang Kristen yang bertumbuh dewasa yang benar.
Untuk orang Kristen yang dewasa yang benar, bertumbuh dengan benar, maka berurusan
dengan Tuhan atau berperkara dengan Tuhan adalah usaha untuk menemukan apa yang bisa
menyenangkan Tuhan. Kalau boleh mengambil bagian dalam pekerjaan-Nya, tidak lagi
menuntut, “Tuhan berkati aku, berkati usahaku.” Dia yakin usahanya akan diberkati kalau dia
kerja keras; dia yakin bisnisnya akan diberkati kalau dia bertanggung jawab atas bisnis yang
diembannya itu. Bagi dia, menyenangkan Tuhan itu bukan kewajiban tapi kebutuhan. Menaati
Firman Tuhan bukan kewajiban atau hukum yang menekan, tetapi kesukaan, kesenangan,
sehingga bisa berkata, “Kesukaanku ya Tuhan, menyukakan hati-Mu; kesenanganku, ya
Tuhan, menyenangkan Engkau.”

Nah, orang Kristen yang dewasa seperti ini mengerti bahwa percaya kepada Tuhan bukan
berarti dapat menggunakan Tuhan untuk kepentingannya, tetapi hidup untuk kepentingan
Tuhan, dan menerima Injil dengan segala konsekuensinya. Nah, di sinilah Injil baru benar-
benar menjadi Kabar Baik bagi dia; baik menurut Tuhan; baik untuk Tuhan. Dan kalau kita
memberikan yang terbaik bagi Tuhan, maka itu berarti kebaikan untuk kita. Injil berarti Kabar
Baik: baik untuk Tuhan; Kabar Baik menurut Tuhan. Kalau kita belajar mengerti kehendak
Tuhan dan melakukannya dengan rela—tadi saya katakan sebagai kesenangan; bukan
sebagai suatu kewajiban, tetapi kebutuhan—maka kita bisa menjadi sahabat Tuhan. Sahabat
Tuhan. Kita menjadi anggota keluarga Tuhan, yang menjadi sepenanggungan dengan Tuhan.
Kita bisa menjadi orang-orang percaya yang sepikiran dengan Tuhan, seperasaan dengan
Tuhan, sepihak dengan Tuhan, sepembelaan dengan Tuhan.

Betapa bahagianya kalau kita mencapai tingkat kekristenan seperti ini. Dan ini baru dapat
disebut sukses kehidupan. Sukses kehidupan kalau seseorang bisa menjadi sekutu Tuhan;
dan kalau kita menjadi sekutu Tuhan, berarti kita memiliki Tuhan; dan kalau kita memiliki
Tuhan, kita memiliki segalanya. Inilah Kabar Baik itu. Kalau Saudara menerima Kabar Baik ini,
Saudara diberkati.

Tuhan memberkati. Solagracia.

Kamis, 04 Juni 2009

Jangan Menjadi Rentan

Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.(1Kor. 10:13)

Semua orang di dunia ini pasti menghadapi pencobaan. Kata “pencobaan” dalam teks aslinya adalah "pirasmos" yang bisa berarti adversity ‘kemalangan atau kesulitan hidup’. Perlu disadari bahwa kita yang hidup di dunia yang telah jatuh ini ada dalam “telaga adversity”. Dalam mengarungi kehidupan ini kita tidak boleh cengeng dan manja. Kita harus membuka mata lebar-lebar bahwa di dunia ini lebih banyak orang yang menderita; tidak sedikit yang menderita jauh lebih berat dari kita. Perhatikan mereka yang ada di wilayah perang, yang terkena bencana alam, yang hidup di bawah garis kemiskinan, masyarakat marginal yang hidup serba kekurangan, dan lain sebagainya. Kenyataannya di antara mereka banyak yang dapat kokoh dan kuat menghadapi hidup ini, tidak cengeng.

Mengapa sebagai anak-anak Tuhan, sedikit saja mendapat masalah, sering kita merasa menjadi orang paling malang dalam hidup ini, kemudian menangis sejadi-jadinya di hadapan Tuhan, memohon supaya masalah yang kita hadapi segera diangkat-Nya? Masalah-masalah tersebut sering sangat kecil, tidak berarti dibanding dengan kesukaran hidup mereka yang tidak mengenal Tuhan namun bisa bertahan. Kalau dalam menghadapi masalah kita begitu mudahnya meratap, kita akan menjadi rentan dalam menghadapi hidup dengan segala persoalannya.
Tuhan tidak akan menimpakan masalah, kesukaran dan kemalangan kepada kita melampaui kekuatan manusia. Perhatikan “tidak melampaui kekuatan manusia”, bukan kekuatan anak Tuhan. Ia menakar setiap kemalangan yang dialami seseorang, agar tidak melampaui kekuatan manusia itu. Pencobaan-pencobaan yang kita alami adalah pencobaan biasa. Kata “biasa” dalam teks aslinya adalah "anthropinos" yang berarti “manusiawi” atau “wajar untuk manusia”. Hendaknya kita tidak menjadi takut dalam menghadapi segala masalah yang terjadi dalam kehidupan ini, karena Tuhan akan memberikan jalan keluar.

Pencobaan yang diizinkan-Nya terjadi dalam hidup akan menjadi vitamin jiwa yang mendewasakan dan menyempurnakan. Jangan harap kita diistimewakan Tuhan, sehingga keadaan kita selalu baik. Itu membuat kita menjadi rentan.

Renungan ini diambil dari Renungan Harian TRUTH Daily Enlightenment Edisi 57/April 2009. Dapatkan renungan harian yang bermutu dari TRUTH. Untuk berlangganan atau informasi lebih lanjut, hubungi (021) 68 70 7000 atau 08 7878 70 7000.

Apollumi (kehilangan nyawa)

Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Mat. 10:39) Ayat di atas ini merupakan pernyataan Tuhan Yesus yang menimbulkan banyak pertanyaan, dan bisa membingungkan.

Apa sebenarnya yang dimaksud “kehilangan nyawa” itu?
Kalimat ini dalam teks bahasa Inggris diterjemahkan “loses his life” (kehilangan hidup). Kata “kehilangan nyawa” ini dalam teks aslinya adalah “apolesas ten psükhen”.
Kata apolesas berasal dari kata apollümi yang artinya ‘to destroy fully’ (menghancurkan sama sekali), ‘die’ (mati), ‘perish’ (binasa) dan ‘lose’ (kehilangan).

Kata apollümi mengandung pengertian “hancur sama sekali”, atau “binasa, mati”; atau “hilang sama sekali”.
Sedangkan kata psükhen lebih berarti “jiwa”.

Dalam kamus Bahasa Indonesia kita menemukan kata psikis yang diambil dari kata bahasa Inggris psyche, yang juga berasal dari bahasa Yunani. Jiwa adalah komponen dalam diri manusia yang menjadikan manusia memiliki kesadaran. Dalam jiwa itulah ada kesadaran “si aku” dan dalam jiwa tersebut terdapat pikiran, perasaan dan kehendak.

Orang yang kehilangan nyawa artinya menghancurkan sama sekali pola pikir, perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan dalam dirinya sendiri. Hal ini bisa terjadi kalau seseorang menggeser atau merusak apa yang sudah ada dan menggantikannya dengan yang baru.
Sebagai penggantinya adalah pikiran, perasaan dan kehendak Tuhan.

Proses ini merupakan proses pertobatan dan pembaruan secara terus-menerus yang harus berlangsung dalam kehidupan anak Tuhan yang normal di hadapan Tuhan.
Dalam hal ini, kita menemukan bahwa akhir perjalanan hidup orang percaya adalah ketika ia bisa berkata: “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2:19-20).
Kehilangan nyawa (penghancuran, pembinasaan dan pembunuhan jiwa) akan menghasilkan kehidupan Tuhan Yesus yang diperagakan secara konkret, nyata dalam kehidupan seorang anak Tuhan yang tentu saja akan sangat memberkati orang-orang disekitarnya.

Inilah yang dimaksud dengan “menjadi surat terbuka”, agar mereka mengenal Allah yang benar dan merasakan kehadiran-Nya. Hanya dengan kehilangan nyawa maka mekanisme pengambilalihan kehidupan kita oleh Tuhan Yesus dapat berlangsung dengan baik, normal dan proporsional.

Tujuan dari blog ini adalah....

Blog ini saya buat karena saya sangat di berkati oleh pengajaran-pengajaran Firman Tuhan dari bapak Pdt. Erastus Sabdono (dan karena itulah, saya juga ingin lebih banyak lagi orang bisa di berkati oleh pengajaran beliau). Ajaran Firman Tuhan yang beliau sampaikan sangat sehat buat anak-anak Tuhan yang rindu akan kebenaran Firman Tuhan. Melalui pengajaran yang di sampaikan kita bisa makin dewasa dalam kehidupan rohani kita di dalam Tuhan ^0^